Senin, 13 April 2015



Tanpa Judul

Terus berlari mengejar mimpi
Dibawah terik matahari yang kami nikmati
Peluh keringat membasahi baju kami
Panas dan hujan kami lewati
Berlatih dan terus berlatih
Untuk menjadi yang terhebat dari semua ini

Stang leher dan baret menjadi saksi
Taburan bintang dan senyuman bulan
Ikut menemani langkah kami
Perjuangan dan pengorbanan tiada henti
Api dasa dharma seolah menjadi teman kami
Cikal tunas kelapa selalu dihati
Senandung lagu pramuka music langganan kami
Tenda berjajar rapi lukisan indah disore hari
Seragam cokelat selalu menghiasi tubuh kami
Terpampang nyata di kedua bola mata ini
Melihat dan memotret setiap memori
Mengamalkan pengetahuan yang kami miliki
Menjadikan hidup lebih berarti

Pramuka adalah hidup kami
Terus berprestasi untuk almamater tercinta
Tidak ingin mengecewakan lagi
Selalu berusaha dan berdoa menggapai mimpi
Tri Satya pedoman kami
Dasa Dharma tuntunan kami
Pramuka Samber Nyawa – Nyi Ageng Serang
Ambalan kami..

Iklas Bhakti Bina Bangsa, Berbudi Bawa Laksana
Satyaku Kudharmakan, Dharmaku Kubhaktikan


                   Semut-semut Nakal
30-31 Agustus 2014


B
erawal dari suara penuh misteri ditengah malem yang gue denger waktu kemah pertama disekolah ini, serta niat dan tekad gue untuk terus menggapai mimpi. Ternyata usaha keras gue selama setahun ini nggak sia-sia. Setelah gue mengikuti ekstra pramuka setahun dan penuh perjuangan serta pengorbanan, akhirnya hari ini kemah pelantikan dewan ambalan yang gue udah nantikan dari dulu. Dua hari yang sangat bersejarah bagi gue.
Dimulai dari upacara pembukaan, dimana waktu itu gue kebagian jadi pengibar bendera. Setelah semua mempersiapkan diri dan menempati posisi masing-masing sebagai petugas. Akhirnya upacara pembukaan pun dimulai. Gilang, gue, dan Raka jadi pengibar bendera. Berdiri tegap sambil berulang kali gue baca surat al-fatihah dan surat al-ikhlas dalam hati. Gimana nggak grogi, untuk pertama kalinya seumur hidup, gue jadi pengibar bendera apalagi waktu kemah pelantikan kaya gini.
Terik matahari gue hiraukan, keringat mulai bercucuran, detak jantung semakin cepat waktu protocol bilang “Penghormatan kepada Pembina upacara”, dan sebentar lagi “Pengibaran Bendera Sang Merah Putih”. Waktu Raka bilang “Siap”, jantung gue rasanya mau copot, gue nggak henti-hentinya istighfar. Rasanya kaki gue kaku gak bisa jalan. Rasanya kaya orang mati berdiri.
Tibalah pengibaran bendera sang merah putih, Raka yang memimpin untuk mengatur posisi. Gue melangkahkan kaki sambil membawa bendera. Detak jantung meningkat 1000x lipat, rasanya seisi lapangan bisa denger detak jantung gue saking cepatnya. Tahap demi tahap pengibaran bendera akhirnya gue lakukan dengan lancar. Syukurlah…
Upacara pembukaan selesai, tapi tidak berjalan lancar, masih banyak kesalahan yang gue dan teman-teman lakuin. Setelah itu pengumpulan perkap dan persiapan pendirian tenda dan pendirian api unggun. Waktu itu persanggah dibagi ada yang mendirikan tenda dan ada yang mendirikan api unggun. Gue kebagian mendirikan api unggun. Setelah ganti baju olah raga, gue dan teman-teman yang lain langsung saling bekerja sama. Satu per satu kayu ditata rapi sesuai pola api unggun yang mengerucut. Waktu gue diatas lagi nata kayu, naik sambil nanjak kayu yang dibawah gitu. Ehh.. si Niko malah naroh tangga besi disamping gue dan ujung tangga nyenggol kayu dan gak sengaja kayunya kena kepala gue. Alhasil langsung pusing deh kepala dan membentuk sebuah benjolan kecil diubun-ubun gue. Lalu gue turun sambil merintih kesakitan sambil mengelus-elus kepala gue.
Setelah gue kembali seperti semula, gue melanjutkan mendirikan api unggun dan sesekali gue menatap wajah senja yang indah. Semuanya selesai dan passus disiapin sana sini. Kemudian ganti baju pramuka dan makan malam.
Mentari mulai kembali keperaduannya, langit senja dengan gradasi warna,  terlihat bulan sabit yang ditemani bintang kejora, angin menghembus pelan stang leher yang gue pakai, dan malam pun mulai menyapa…
Setelah sholat maghrib berjamaah, dibawah rasi bintang dimusim hujan, gue dan teman-teman latihan nyanyi buat upacara api unggun dan pensi nanti malem. Terdengar riuh canda tawa dari temen-temen gue. Suasana malam semakin terasa. Upacara api unggun segera dimulai, gladhi bersih sebentar dan akhirnya sholat isya’ dulu. Berhubung temen-temen gue pada sholat nanti, akhirnya gue putusin buat sholat sendirian. Pas mau make kaos kaki, eh passus disiapin. Sampe-sampe kaos kaki sebelah kanan kebalik. Waktu itu juga gue masih megang mukena, kan kagak mungkin gue didalam barisan sambil megang mukena apalagi mukenanya gue pake. Akhirnya gue suruh tuh anak kelas sepuluh buat naroh mukena didalam mushola.
Upacara api unggun pun dimulai. Semuanya sudah menempati posisi masing-masing. Lampu dimatikan, lampion dihidupkan, dan suasana berubah menjadi mencekam. Hening dan sunyi. Hanya terdengar hembusan angin malam dan taburan bintang. Gue terkagum-kagum dengan formasi lampion yang melingkar diatas lapangan. Suara protocol membacakan tahap upacara api unggun pun terdengar seram. Dan tibalah saatnya penyulutan api dasa dharma. Penyulutannya agak lama, lama banget malah. Karena dari obor kesatu, kedua, dan seterusnya tertiup angin mulu.

Lalu tibalah pembacaan sekapur sirih yang membuat suasana semakin horror. Upacara api unggun dilaksanakan dengan lancar karena malam mungkin kesalahannya tidak terlihat. Gue terus menatap ujung demi ujung api unggun yang berkobar itu. Bukannya terpesona dengan keindahan api unggun itu, tapi gue heran. Kayu bakar tiga truk yang gue kumpulin susah payah sama temen-temen eh dibakar gitu aja tanpa rasa bersalah. Belum lagi bensin dan solar yang habis berliter-liter buat ngebakar tuh kayu. Eh, waktu upacara api unggun ada lampion yang kebakar lagi. Sungguh memori yang tak terlupakan.
Kobaran api dasa dharma masih membara menemani semangat perjuangan gue selama setahun ini. Lampu mulai dihidupkan dan riuh suasana mulai ramai dengan orang-orang yang sedang mempersiapkan pensi. Sebelum pensi dimulai, gue bermaksud mengambil mukena yang gue tinggal di mushola tadi. Waktu jalan beberapa langkah dari mushola, gue berpapasan dengan kak Keyndra, kakak kelas yang gue kagumi dari sifat dinginnya itu. Kalo tidak salah waktu itu dia menoleh kearah gue.
Pensi pun dimulai, kebanyakan anak kelas sepuluh menyanyi diiringi dengan gitar dan bernyanyi penuh riang gembira. Gue asyik menikmati setiap lagu yang mereka nyanyikan. Dengan pede gue joget dengan jari telunjuk goyang kanan kiri dan kepala mengikuti arah jari telunjuk gue. Apalagi goyang bang jali gue, sampe-sampe kakak kelas nyamperin gue. Malem itu gue merasa bahagia seolah tanpa beban sedikit pun. Giliran passus buat nyanyi empat lagu sekaligus, yang dimana setiap lagu mempunyai makna penuh arti. Selesai pensi, waktunya ganti baju olah raga dan bersiap untuk tidur. Bagaimanapun juga, yang namanya kemah, gue gak pernah bisa tidur. Gimana pun posisi gua dan senyaman apapun tempat tidur gue, pasti gua gak bisa tidur. Gue masih tidur dengan posisi yang teramat sangat tidak mengenakkan. Tiba-tiba… passus dan kelas sepuluh disiapin. Dimulailah jelajah malam penuh misteri…
Setelah dibarisin dan dibagi kelompoknya. Gue, Anisa, Dude, Lala, dan Bagus jadi kelompok pertama yang jalan. Mata kita ditutup mitela dan gakbisa ngeliat apapun. Yaiyalah!!
Kita berlima saling megang pundak temen yang didepan. Sambil ngeraba-raba gitu dan menyusuri jalan yang tak tahu entah kemana. Akhirnya sampailah kita disuatu tempat penuh misteri. Awalnya disuruh buka stang leher dan topi lalu tiduran diatas rumput yang basah dan masih dengan mata yang tertutup. Gue mencoba menebak dimana kah gue sekarang. Ada yang bilang buat lingkaran-lingkaran gitulah. Saat gue sedang asyik menebak, ada semut nakal yang masuk ke rok gue. Sontak gue langsung duduk dan ngeraba rok dalem gue dan gue tidur lagi. Eh semutnya malah ngelunjak sampe kedalem-dalem dan rasanya gatel-gatel gimana gituu. Gue duduk lagi dan ngambil semut didalem rok. Dan untuk ketiga kalinya, semutnya tambah nakal masuk kedalem rok gue lagi. Saking gak tahan, gue lalu berdiri sambil loncat-loncat dan ngeraba rok. Sampe-sampe gue disamperin sama salah satu kakak kelas sambil disenterin pula. “Eh, dek, kamu kenapa??” , tanyanya. “Nggak apa-apa, kak, cuma serangga kok..”, jawab gue sambil merintih. Lalu gue tidur lagi dengan rok yang gue lipat rapat dengan kaki gue.
Gue kembali nebak dimanakah gue sekarang. Gue mulai meraba rumput. “Ehm, tadi ada lingkaran-lingkaran, masa ini dikuburan, gamungkin kuburan sedekat ini. Pasti ini dilapangan. Oh iyaa lapangan deket sekolah.”, gumam gue dalam hati. Waktu mitela disuruh buka dan tebakan gue benar sekali kalo gue sedang ada dilapangan deket sekolah. Ditengah-tengah gue dan temen-temen udah ada piala hasil jerih payah yang didapetin kakak kelas gue. Banyak alumni waktu itu yang nasehatin dan nguji mental kita. Waktu ditanya materi, si Anisa malah nyebutin bapak koperasi apalah yang ternyata salah. Kenangan itu yang masih membekas dihati gue sampai sekarang. Gue cuma diem, diem, dan diem. Gatau harus mau ngomong apa, ntar malah salah trus gue digantung dipohon kecambah sama alumni lagi. Gue nyari aman aja.
Setelah itu, kita disiapin untuk persiapan upacara pelantikan. Menegangkan, menakutkan, dan membuat penasaran. Tapi semua terbayarkan dengan usaha keras gue dan teman-teman gue selama ini. Menjadi yang paling terbaik dari semua yang terbaik. Semuanya berpelukan, air mata menetes, tangis pun pecah ketika itu, suka duka menyelimuti senja dipagi hari itu. Taburan bintang menjadi saksi, udara sejuk dipagi hari menyelimuti, percikan sinar mentari pun mengiringi langkah kami. Lalu bersalaman untuk mengucapkan selamat. Termasuk gue salaman sama kak Keyndra.
Lalu kembali kesekolah dengan langkah tegap maju jalan dan sesampainya disana muterin tenda dulu. Setelah itu sholat subuh dan ganti baju passus buat senam lalu sarapan pagi. Kemudian ganti baju pramuka lagi dan bersiap untuk  jelajah. Melewati hutan, sawah, sungai, dan gue kebagian pos bayangan sama Hana di pojok lapangan dibawah pohon. Hari itu waktu terasa cepat berlalu dan setelah jelajah selesai. Bersiap berkemas tenda dan upacara penutupan. Saat upacara penutupan pun ada kesan tersendiri yang gue rasain. Melihat satu per satu wajah bahagia dari mereka semua. Pengalaman indah tak terlupakan.
Usaha keras itu tak akan mengkhianati, sahabat…


Cinta Bersemi di Perkemahan

Laksana embun pagi memandikan dedaunan
Bagaikan mentari menyinari bumi
Seperti udara yang selalu kubutuhkan
Kaulah bidadari yang bertahta dihati
Wajah sampingmu indah nan mempesona
Goresan tipis senyuman manja
Dirimu terlukis sempurna
Oh ananda…

Sebait puisi yang aneh bagiku. Puisi yang terinspirasi dari seseorang yang sudah megubah hidupku menjadi seperti ini. Dialah Nazhema Revanna Kartika Putri, nama yang selalu memenuhi setiap sudut diotakku. Zhema dan aku adalah sahabat dekat sejak setahun terakhir kebersamaanku dalam organisasi pramuka disekolah. Kebersamaan, canda tawa, dan pertengkaran yang selalu membuat kita dekat. Aku mulai teringat peristiwa sebulan yang lalu, kala itu kita sedang mengikuti perkemahan dipegunungan.
Udara sejuk pegunungan menghembus pelan stang leherku. Pemandangan indah seakan menjadi saksi peristiwa bersejarah itu terjadi. Sudah lama aku memendam rasa yang lebih dari sahabat ini, pelan tapi pasti perasaan ini semakin dalam dan aku lebih memilih memendamnya diam-diam. Keluguan dan kebaikan hati Zhema yang membuatku bertahan. Aku menyukainya, tapi aku tidak tahu apakan Zhema juga suka denganku atau tidak. Tapi ketika mata kita tidak sengaja saling memandang, bola mata itu semakin membuatku yakin bahwa aku menyayangi Zhema begitu juga sebaliknya. Berulang kali aku nyatakan perasaan ini melalui perhatian dan kepedulianku terhadapnya, tapi Zhema terlihat acuh tak acuh dan tidak mempedulikanku. Meski secuek apapun dan setidak peduli apapun sifat Zhema, aku tidak bisa membencinya karena aku teramat sangat menyayanginya.
Kala itu Zhema sedang disibukkan dengan berbagai macam kegiatan yang cukup menguras tenaga dan pikiran. Berkali-kali kuperhatikan dia memegang kepala dan terlihat kecapaian setelah seharian mengikuti kegiatan yang diselenggarakan. Aku mencoba menanyakannya melalui pesan singkat, “Zhema, kamu kenapa?? Kalo kamu capek mending kamu istirahat saja.”. Dan dia menjawab singkat padat jelas “Aku tidak apa-apa, kok.”. Aku tahu kalau dia berbohong dan dia mencoba menenangkanku dengan jawaban seperti itu.
Dua hari berkemah dipegunungan menyisakan kenangan yang teramat dalam. Terlebih saat hari terakhir. Ketika semua perlengkapan sudah dikemas dan bersiap untuk pulang, ketika itu kita sedang menunggu transportasi untuk menjemput kita dan kembali lagi disekolah. Teman-temanku menyuruhku untuk menyatakan cinta kepada Zhema didepan teman-teman yang lain. Aku pun berusaha meyakinkan diriku. Aku sudah menunggu dibawah dengan sorakan ramai dari teman-teman. Setelah Zhema dibujuk untuk turun dan keluar dari basecamp, akhirnya Zhema turun dengan malu.
Didepan teman-teman, aku dan Zhema saling berhadapan. Kemudian aku setengah jongkok dan meraih tangan Zhema. Angin menghembus rambut pendek Zhema dan terpancar dari bola matanya yang hitam bulat itu ada suatu hal yang Zhema miliki. Aku berbisik pelan “Zhema, I love you. Will you be my girlfriend??”. Dengan tersipu malu Zhema menjawab “Cakra, I love you too. And I do.”
Jabatan tangan pagi itu masih terkenang sampai sekarang.  Pujaan hati yang kudambakan selama ini tlah menjadi milikku. Berawal dari sebuah kebersamaan dan pramuka yang mempertemukanku dengan Zhema.


Senja dipagi hari
9-11 Mei 2014


Terik mentari menyengat tubuh Azura dan membuat baju pramukanya penuh dengan keringat perjuangan. Tapi semua terbayarkan dengan pemandangan indah persawahan nan hijau dan lukisan gunung dari kejauhan. Angin pun mulai menghembus stang leher gadis berambut pendek itu, ditemani langit biru tanpa awan sedikitpun.
Sudah setengah perjalanan dia melewati pos demi pos materi pramuka yang diikutinya. Hari itu ada kemah pramuka di SMAnya. Ara, begitulah panggilan untuk Azura. Ara termasuk siswa yang rajin dan mendapat perlakuan khusus jika ekstrakurikuler yang setiap hari Jumat dilaksanakan itu. Karena dia salah satu calon yang akan menggantikan kakak kelasnya untuk mengajar dan mendidik adik kelasnya nanti. Ara melihat jam tangan hitam yang melingkar dipergelangan tangan kirinya itu. “Ah, ternyata sudah jam setengah empat, tinggal satu pos terakhir ini. Semangat Ara!!”, gumamnya dalam hati. Pos menyanyi sebagai pos terkahir dilaksanakan Ara dengan lancar, akhirnya semua pos sudah dikerjakannya dengan sukses dan lancar.
Sesampainya disekolah, Ara dan teman-temannya beristirahat sebentar didepan tenda dan ganti baju olah raga lalu mendirikan api unggun setelah mendapat instruksi dari kakak kelasnya.
Ditemani mentari yang hanya mengintip diujung cakrawala, Ara dan teman-temannya bekerja sama mendirikan api unggun dengan kayu bakar yang sudah dikumpulkan dengan susah payah beberapa minggu yang lalu. Setelah hampir satu jam berlalu, akhirnya api unggun mereka sudah selesai.
“Mohon perhatiannya, setelah mendirikan api unggun, silahkan kalian bersiap sholat dan ganti pakaian pramuka lengkap. Setelah itu makan malam dan persiapan upacara api unggun dan pensi. Terimakasih.” , jelas salah satu kakak kelas yang memberikan instruksi.
“Ra, sholat, yuk..” , ajak Rifa teman terdekatnya.
“Oh, iya bentar, gue ambil mukena dulu ye.” , jawab Ara.
Setelah beberapa menit kemudian. Mereka berjalan menuju mushola yang kebetulan cukup jauh dengan tenda mereka. Ditengah perjalanan, mereka tak hentinya bercengkrama tentang pengalaman yang tidak terlupakan itu. Nanti malam ada pensi atau pentas seni. Dan sanggah Ara akan menampilkan sebuah drama dan Ara menjadi salah satu pemainnya.
Malam semakin larut, bintang tampak berkelap-kelip ditengah lapangan dengan lampu didepan tenda yang berjajar rapi. Suasana malam diperkemahan itupun semakin terasa. Ara terdiam dalam lamunan sambil memandang bintang yang paling terang.
“Hey, Ara!” , suara Anis mengagetkan Ara.
“Oh, hey, Anis. Bikin gue kaget aja.”
“Yahh, elo sihh pake ngelamun segala. Mending lo persiapan akting buat pensi ntar malem lo. Jangan lupa acting nangisnya, lo kurang penjiwaan waktu latihan kemaren.”
“Oh iyayah.. Oke dehh, gue acting lo perhatiin yee..”
“Siap, kakaaa!!”
Ara pun berakting sesuai naskah dialog drama yang dibuat temannya. Dimana Ara sebagai anak yang sedang kehilangan ayahnya dan ada adegan menangis.
Lampu dimatikan, semua sudah berada diposisi masing-masing untuk upacara api unggun. Hening dan gelap, yang terdengar hanya suara pemimpin upacara api unggun dan gemerlap rasi bintang dimusim panas.
Ketika teman-temannya yang akan menyalakan api dasa dharma saling mengangkat obor dan mengatakan dengan lantang sebuah kalimat sederhana penuh makna. “IKHLAS BHAKTI BINA BANGSA BERBUDI BAWA LAKSANA, SATYAKU KUDHARMAKAN DHARMAKU KUBHAKTIKAN”. Seketika semuanya terang saat api dasa dharma dihidupkan dan paduan suara pun mulai bernyanyi.

Tapi semuanya berubah saat pembacaan sekapur sirih oleh salah satu kakak kelasnya. Suasana horror pun mulai terasa, terdengar sayup-sayup suara lembut membaca sekapur sirih. Setelah menyanyikan lagu Itulah Pramuka sambil bertepuk tangan, maka berakhirlah upacara api unggun malam itu.
Ara masih memandangi kobaran api unggun yang membara itu. Matanya yang hitam tercermin penuh pesona bahwa pramukalah yang sudah mengubah hidupnya menjadi seperti sekarang ini. Lampu mulai dihidupkan kembali, para tamu undangan mulai berdatangan untuk  menyaksikan pensi. Sanggah demi sanggah menampilkan dan menyanyikan lagu pilihan mereka. Tibalah sanggah Ara untuk menampilkan drama. Ara sangat menjiwai perannya dan pensi ditutup oleh lagu yang dinyanyikan bersama teman-temannya yang lain.
Udara dingin  malam semakin menusuk tulang. Setelah ganti baju olah raga, para peserta kemah bersiap untuk tidur. Selama Ara berkemah, dia tidak pernah tidur. Senyaman dan dalam kondisi apapun Ara tidak bisa tidur jika sedang berkemah. Mata Ara terpejam, tapi pikirannya tidak bisa tidur. Dia masih memikirkan semua pengalaman yang terjadi seharian ini. Entahlah, semuanya terlihat begitu mengenang dihati Ara.
Disaat teman-temannya sudah terlelap dan bermimpi, Ara masih saja berkutat dengan sejuta pikiran diotaknya. Ada kala Ara sudah mengantuk, tapi dia tak bisa tidur. Tidak terasa fajar sudah terlihat. Ara segera membangunkan teman-temannya untuk sholat dan bersih diri. Setelah itu mereka disiapkan dan diberi pengarahan untuk membersihkan abu sisa pembakaran api unggun kemarin. Ara terlihat bersemangat, apalagi percikan sinar mentari mulai terasa mengiringi semangat Ara hari minggu itu.
Terlihat indah lukisan senja dipagi hari. Ketika semburat merah menghubungkan garis cakrawala disertai mega-mega. Sambil membersihkan abu sisa api unggun semalam, sesekali Ara menatap wajah sang senja dipagi hari itu. Tergores tipis untuk kenangan dan pengalaman selama dua hari yang bersejarah ini.
Setelah semuanya sudah bersih, mereka bersiap untuk sarapan. Kemudian ganti baju pramuka lengkap dan persiapan upacara penutupan. Setelah upacara penutupan selesai, Ara bersiap untuk pulang dengan pengalaman yang tak terlupakan.